Blog Archive

Popular Posts

Sunday, April 28, 2019

Preman Kampungan Kena Batunya episode 1

Aku adalah seorang preman. Pembaca, mungkin anda kaget mendengarkan pengakuanku ini. Tapi, itulah kenyataannya. Kalau pengertian “preman” adalah orang bebas (freeman) maka aku memang benar-benar bebas, tidak terikat jam kerja kantor, tidak perlu takut dibentak-bentak bos dan hal-hal menyebalkan lainnya.

Kenapa ? ha anda pasti sudah bisa memperkirakan. Sebabnya adalah karena aku adalah seorang pengangguran. Salah satu dari ribuan pengangguran di ibu kota tercinta kita. Ini bermula setelah aku lulus SLTA di kampungku dua tahun yang lalu, aku berkelana ke Jakarta dengan segudang harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Tetapi, seperti sudah menjadi cerita klasik di Jakarta, semua angan-anganku itu terempas habis. Setelah berpuluh-puluh kantor kudatangi dan kuajukan lamaran, ternyata tidak ada satupun yang menanggapi. Ijazah SMA yang begitu dibanggakan di kampungku, di Jakarta ternyata tidak ada harganya sama sekali
Setelah lelah dan hampir putus asa, akhirnya aku mendapat pekerjaan juga. Bukan pekerjaan kantor, tetapi menjadi supir tembak mobil angkutan kota (angkot ) di salah satu jalur di Jakarta selatan. Supir sebenarnya adalah temanku satu kampung di Pulau kami, dan karena kebaikan hatinya ia mau membagi kesempatan mengemudi angkotnya dan berbagi pendapatan denganku.

Lumayanlah, dapat juga sedikit uang untuk menyambung hidup di Jakarta. Tetapi bagaimanapun, hidup ini tetap berat. Trayek angkot yang kupegang ini bukanlah trayek gemuk, sehingga kesempatanku untuk menjadi supir tembakpun tidak terlalu banyak.

Akhirnya aku lebih sering nongkrong di terminal di mana angkot trayekku bersarang, duduk mencangkung sambil memikirkan nasibku yang kuanggap super sial ini. Dan Rudi, si pengemudi angkot temanku itu juga sering duduk mencangkung menemaniku karena begitu sepinya penumpang.

Pada waktu duduk mencangkung berdua seperti itu, tidak jarang pembicaraan kami melantur ke mana-mana. Bagaimanapun kami masih muda (25 tahun) sehingga pembicaraan mengenai seks bukan hal yang aneh.

Apalagi dengan suasana yang menekan seperti ini, obrolan jorok merupakan cara yang paling bagus untuk melupakan kesumpekan. Berbagai topik mengenai seks sudah kami bicarakan, tetapi semuanya yah cuman omong doang.
Kami tidak pernah bisa merealisasikannya. Kami belum punya pacar, karena kami takut kalau pacaran pasti perlu dukungan duit yang cukup. Ke pelacuran, sama saja. Dari mana kita dapat duit untuk membayar perempuan macam begitu.

Serba susah. Untuk makanpun sudah susah, apalagi untuk hal-hal lain. Jadi, di sinilah kami. Duduk mencangkung sambil merokok (itu satu-satunya kenikmatan yang mati-matian kami usahakan untuk mendapatkannya). Di depan kami berlalu lalang ratusan calon penumpang, semuanya sibuk dengan pikiran dan permasalahannya sendiri.

Tidak jarang kami melihat calon penumpang yang cantik, dengan tubuh bahenol melintas. Biasanya kalau sudah lewat yang macam itu pembicaraan kami pasti mulai berkembang ke arah yang serba jorok. Mulai saling terka apakah cewek itu masih perawan atau tidak, berapa ukuran branya, sampai kira-kira posisi bersetubuh yang paling enak dilakukan bersamanya.

Setiap hari berbicara seperti itu, pikiran kami semakin pusing saja. Keinginan untuk berhubungan dengan perempuan, benar-benar mendesak untuk dipenuhi. Tapi apa daya ? benci betul aku dengan segala ketidak berdayaanku ini.

Sampai akhirnya,si Rudi temanku mengeluarkan ideenya yang gila untuk memenuhi impian kami berdua mengenai perempuan. Ideenya benar-benar gila sehingga aku terhenyak mendengarnya. “Sin, kita perkosa cewek saja ya” katanya tiba-tiba, di tengah acara nongkrong kita ( o ya, namaku Tosin. Aku lupa memperkenalkan diri sejak tadi).

Aku menengoknya dengan pandangan kaget :”elu ngaco ah” kataku :” cari perkara saja. Kalau mau bergurau cari cara yang lain saja deh.”
Tapi si Rudi menggeleng. Tidak seperti biasanya, ia kelihatannya serius sekali :” bener Sin, aku nggak bergurau. Kita cari cara memerkosa yang paling aman, pokoknya kita puas dan risikonya sekecil mungkin.”

Lalu ia mulai menceritakan rencananya. Setiap hari, kira-kira pukul 22.00 malam angkotnya selalu dinaiki seorang gadis yang “tubuhnya aduhai sekaliii..” (ini menurut kalimatnya si Rudi lho ). Dia rupanya mahasiswi atau siswi kursus apalah tidak jelas, tetapi ia selalu pulang malam sendirian dengan angkot si Rudi.

Ia selalu berhenti di perempatan di tengah perjalanan angkot kami, sehingga Rudi juga tidak tahu di mana rumahnya. Kelihatannya ia meneruskan perjalanan dengan menumpang angkot lain lagi yang menuju rumahnya.

“Jadi, serba rahasia” kata si rudi, mulai bersemangat :’ maksudku, kita bekap dia di depan lapangan bola, lalu kita mainin di bedengnya si Meeng. Kalau sudah selesai kita tutup matanya, kita putar-putar dan kita buang di tengah jalan.”

Si meeng adalah kuli bangunan teman kami, yang tinggal di bedeng di pinggir lapangan bola. Sekarang bedengnya memang lagi kosong karena Meeng lagi pulang kampung. Enak aja, pikirku :”emangnya dia tidak mengenal dan mengingat kamu ? kan dia tiap hari naik angkotmu, pasti dia lihat dan kenal kamu.

Selesai kita makan dia pasti lari lapor ke polisi ” Rudi menggaruk- garuk kepalanya. Benar juga, mungkin begitu pikirnya. Akhirnya dia kehilangan semangat untuk meneruskan membahas rencananya
Tetapi semua keadaan berubah seminggu kemudian. Di hari senin yang naas, angkot kita menabrak sebuah mobil Honda civic hitam sehingga bumper belakang mobil itu penyok ke dalam. Itu benar-benar kesalahan si Rudi, sehingga dia tidak bisa mengelak lagi ketika si pemilik mobil meminta pertanggung jawabannya untuk memperbaiki mobilnya di bengkel.

Saat kami di bengkel dan pemilik bengkel mengkalkulasi biaya perbaikannya, wajah Rudi pucat seketika. Satu juta rupiah!! aduh mak, dari mana kita mendapat duit sebanyak itu. Tetapi Rudi tidak bisa menolak.

KTP dan SIM-nya ditahan oleh pemilik mobil dan baru akan diberikan ketika mobilnya sudah selesai direparasi dan Rudi membereskan pembayarannya. Akhirnya, dengan segala daya upaya si Rudi dapat meminjam uang sebesar satu juta untuk membayar perbaikan itu.

Itupun dengan setengah mengemis (atau juga setengah mengancam) pada beberapa orang yang dikenalnya. Ia memasukkan uang yang sangat berharga itu pada amplop dan dengan hati-hati menyelipkan di kantong celananya.

Sore itu, kami nongkrong di tempat biasanya. Rudi mencangkung di sebelahku, matanya merah dan wajahnya kucel. Pasti pikirannya penuh dengan masalah bagaimana ia harus mengembalikan hutang yang (menurut ukuran kami) segunung itu. Berkali – kali ia menghela napas, menyedot rokok dengan keras dan menggaruk-garuk kepalanya.

Aku tidak berani memberi komentar sama sekali, takut kalau salah ngomong dia akan semakin ruwet pikirannya. Akhirnya setelah hampir satu jam saling berdiam diri, Rudi berdeham dan berkata serak :” Sin, aku mau pulang saja ke kampung. Nggak kuat aku di Jakarta” lalu ia menceritakan rencananya dengan cepat.

Dia mau lari saja besok langsung ke Pulau kami, tidak bilang pada siapa-siapa. Tentunya setelah masalah pembayaran ke bengkel beres dan dia telah mendapatkan lagi SIM dan KTPnya. Masalah bayar utang, sebodo amat.
Dia akan membayarnya kapan-kapan saja dari kampung kalau sudah punya duit. Tapi dia ingin membalas dendam pada kota yang kejam ini, ”kota ini sudah menodai kita, Sin” katanya”, sebelum aku pergi, aku mau menodai salah satu warganya. Biar tahu rasa.”

Lalu dengan nada emosi ia mengutarakan rencananya untuk memperkosa si cewek bahenol penumpang angkotnya, seperti rencananya dahulu. Toh tidak perlu takut lagi dikenal, karena dia akan lari pulang besok.

Masalah aku ? terserah saja. Kalau aku mau ikut hayo….kalau nggak, ya terserah. Begitulah katanya. Setelah menimbang-nimbang untung ruginya, aku sepakat untuk ikut. Aku memutuskan untuk ikut pulang saja ke kampung, percuma hidup di Jakarta
Aku toh tidak punya gantungan apa-apa di jakarta ini, jadi bebas saja. Jadi, kalau bisa merasakan tubuh gadis Jakarta sebelum angkat kaki, apa salahnya…. Nah, begitulah awal mulanya. Setelah sepakat bulat, malam harinya aku ikut Rudi nongkrong di angkotnya (biasanya aku tidak pernah ikut narik malam hari).

Pukul sembilan tiga puluh malam, terminal sudah sepi dan udara sangat dingin karena hujan rintik-rintik. Hampir tidak ada penumpang yang datang, hanya beberapa pedagang rokok yang duduk meringkuk di bedengnya.

Aku hampir putus asa menungu kehadiran bidadarinya si Rudi, sampai akhirnya…. “Itu dia..” bisik Rudi bersemangat. Aku menengok ke arah yang ditunjuknya, dan aku terbelalak. Di bawah terang lampu mercury aku melihat seorang gadis berjalan santai, memakai celana jeans selutut dan kaos putih, ditutupi jaket parasut hijau.

Rambutnya sebahu, wajahnya cakep betul (sepertinya indo). Tapi yang paling membelalakkanku adalah tubuhnya. Untuk ukuran gadis Indonesia, dia sangat tinggi (mungkin hampir 172 cm). Tubuhnya sangat atletis, bahkan agak cenderung kekar.Aku hampir pasti dia seorang atlit. Cara berjalannya juga seperti berderap, cepat dan tegas.

Mulutnya bergerak-gerak terus, sepertinya sedang mengunyah permen karet. Dengan cepat ia naik ke angkotku, memilih duduk di depan di sebelah si Rudi. Tepat sekali seperti rencana, pikirku. Aku duduk di belakang, dan karena antara bagian depan dan belakang angkot ini tidak ada kaca pembatas maka aku dapat melihat calon korban kami dengan lebih jelas lagi.

Memang dia cantik betul, tetapi….ada sesuatu yang menggelisahkanku. Entah apa. Tetapi aku punya perasaan bahwa sesuatu yang tidak beres akan terjadi. “Selamat malam No..on…” kata Rudi dengan gaya disopan-sopankan.
Sok yakin kalau si cewek ini mengenalnya. Aku duduk meringkuk di bangku belakang, tepat di belakang Rudi. Aku memakai topi yang kusungkupkan ke wajahku. Bagaimanapun juga, aku masih kuatir kalau korbanku ini mengenaliku nanti.

Di balik jaketku aku menyimpan sebilah belati. “Selamat malam” sahut si cewek. Aduh mak, suaranya juga agak berat, hampir seperti suaranya penyanyi January Christy itu lho. Tetapi malah suaranya itu semakin menambah keseksiannya.

Aku merasa nafsuku mulai naik. Yah, maklumlah, dua tahun di Jakarta tidak pernah berhubungan dengan cewek, hanya berani mengkhayal dan onani tiap hari…. Si Rudi segera menstarter angkotnya dan mobil tua itu mulai bergerak maju.

ini berbeda dengan biasanya ( Rudi biasanya paling anti menjalankan angkotnya sebelum penumpang penuh). Mobil kami bergerak ke luar terminal, berbelok ke kiri dan melaju di jalan raya. Rupanya si cewek merasakan juga perubahan ini :”lho, kok masih kosong sudah jalan, bang?” katanya,.

Suaranya yang berat dan seksi tersebut cukup ramah terdengar. Nafsuku semakin naik. “Iya non, soalnya sudah malam, sekalian pulang. Saya sudah ngantuk” kata Rudi dengan sopan. Mobil tua ini melaju terus, melewati masjid raya, supermarket HERO yang sudah tutup, dan tiba-tiba dengan cepat berbelok ke jalan kecil di kiri.
Ini bukan jalur trayek kami, jalan di kanan kiri kosong dan sangat gelap. Kami melewati lapangan bola yang sudah kami rencanakan sebagai tempat pelaksanaan rencana kami. Di kejauhan terlihat samar-samar gubuk si Meeng yang terletak di sudut lapangan bola, dikelilingi tanaman bambu. Si cewek kelihatan kaget :”lo, bang, kemana kita? Ini kan bukan jalan biasanya?” ia melihat ke kanan kiri yang sangat gelap.

Dari suaranya terasa keheranan dan kebingungan yang merebak. Rudi menukas, kini dengan suara dingin :” tenang aja non, pokoknya non nggak usah ngelawan. Kita nggak ingin menyakiti non kok” Rudi terkekeh :’malah kita akan memberi non kenikmatan. Percaya deh”. Aku yang duduk di belakang segera bertindak cepat.

Tanganku mengambil pisau di balik jaketku dan menodongkan ke lehernya yang jenjang dan putih :” betul non” kataku :”ikuti saja kami, pokoknya nikmat dan puas. Sekarang non turun dari mobil ini . Cepat !”. Dengan tetap kebingungan, si cantik itu turun dari angkot dan segera kami ikuti. Rudi dengan cepat memegang tangan kirinya dan aku memegang tangan kanannya.

Dengan dibimbing oleh kami berdua dan dengan pisau yang tetap mengarah ke lehernya, si cewek itu kami gelandang ke gubuk si Meeng di pinggr lapangan bola. Gubuk itu gelap sekali dan kotor. Setelah kami masuk, Rudi menyalakan lampu minyak di dinding dengan korek apinya.
Terlihat di depan kami ada kasur yang digeletakkan di lantai, sebuah meja reyot dan kursi yang sama reyotnya. Di sepanjang dinding tergantung alat-alat kerja si Meeng, antar lain palu, gergaji dan segulung tali kasar dari sabut kelapa.

Bau apak dan pengap menyergap ke dalam hidung kami. Dengan pura-pura kasar kami mendudukkan si cewek di kursi. Kami berdua berdiri di sebelahnya, agak canggung juga dengan apa yang akan kami lakukan.

Aku tetap menodongkan pisauku ke lehernya. Si cewek tampak memandang kami, anehnya matanya lebih menampakkan kebingungan daripada ketakutan, ” kalian…., apa yang kalian inginkan?” tanyanya sambil menatap kami berganti-ganti, “kalau mau uang, gih ambil saja di tas saya ini. Ambil aja semua……saya nggak apa-apa kok”.

Ia menunjuk tas tangan merk versace yang sekarang terletak di meja. Si Rudi berdeham,dan mengeluarkan suara yang dibuat seperti mengancam, ” he…., kamu kira kita ini perampok kampungan apa begitu ? kita nggak perlu duitmu, tahu? Kita pingin ngerasain tubuhmu yang bahenol ini.

Kita akan sedot seluruh kenikmatanmu, tahu ? jangan ngelawan !!” sambil nyerocos begitu si Rudi meluncurkan tangannya ke dada si cewek dan meremas buah dadanya dengan kasar. Aneh, si cewek sama sekali tidak menghindar.

Dia diam saja ketika si Rudi meremas-remas buah dadanya yang kelihatan cukup besar. Matanya tetap memandang kami berganti-ganti. “Jadi….. jadi……kalian ingin memperkosaku ? begitu ? “ walah, to the point banget pertanyaannya.
Tapi anehnya tidak ada kesan takut di wajahnya. Malah sekilas kulihat bibirnya menyungging senyum. Rudi juga tampak kebingungan melihat respons si cewek ini, sehingga ia harus berdeham dahulu sebelum menjawab :” eh…..kamu jangan norak gitu.

Kalau kamu mau sama mau, kan namanya bukan diperkosa ? pokoknya kamu nurut saja, nanti tidak ada yang disakiti. Ngerti ?” Rudi membentak. Tetapi dari nada suaranya jelas bahwa bentakannya itu cuma dibuat-buat, untuk menutupi kebingungannya.

Tetapi respons si cewek benar-benar mengagetkan kami. Tiba-tiba ia tertawa terkikik dan berkata ceria :” waah….. asyiikk…”. Kami berdua melongo mendengarnya. Lha, ini ada cewek mau diperkosa kok malah bilang asyik!.

Belum hilang keheranan kami, tiba-tiba tanpa diduga si cewek itu menjulurkan tangannya dengan sangat cepat dan menepis pisau yang ada di tanganku. Aku dengan reflek berusaha menghidar, namun terlambat. Tangannya yang halus dan mulus itu mencengkeram pergelanganku, dan dengan kekuatan yang sangat luar biasa meremasnya.

Rasa nyeri dan ngilu luar biasa menyerang pergelanganku. Aku berteriak dan menjatuhkan pisau di tanganku. Belum lagi pisau itu jatuh di lantai, si cewek dengan sigap menangkapnya dengan tangan kanannya. Rudi melongo dan terperangah melihat kejadian yang tidak diduga-duga ini.
Dan sebelum dia sadar, si cewek melompat dan menendang perut Rudi sedemikian kerasnya sehingga aku mendengar suara tersedak seperti orang mau muntah. Rudi terpelanting dan terbanting menabrak tembok papan di belakangnya. Sebuah ember yang digantung di papan persis di atas kepalanya jatuh dan menghantam kepalanya
Ia jatuh terduduk dan tampak sangat pusing dan kesakitan. Si cewek kuntilanak itu terus beraksi. Ia memelintir lenganku yang masih dipegangnya, sehingga aku berteriak kesakitan. Didorongnya tubuhku sedemikian kerasnya sehingga aku jatuh berdebam ke depan. Mulutku nyungsep di lantai tanah, rasanya sakit sekali.

Cewek itu terkikik-kikik (benar-benar mirip kuntilanak) dan kini ia bergerak ke dinding. Diambilnya gulungan tali sabut kelapa di dinding (biasanya dipakai si Meeng untuk tali pagar), dan dengan gerakan kilat mengikat tangan kami di belakang punggung. Aduh, kami sekarang betul-betul jadi tawanan. Si cewek itu sekarang berdiri di depan kami yang duduk menggelosor di lantai,tubuhnya yang bongsor menjulang tinggi.

Ia menendang kami dengan mata liar, ” he, denger nih kalian berdua” katanya, ” kalo elu pikir bisa memperkosa gua, lo cuman ngimpi doang. Sebaliknya, gua sekarang yang akan perkosa elo” dia terkikik-kikik :” gua sudah lama berfantasi memperkosa dua cowok, nggak pernah kesampaian. Eh, sekarang ada yang menawarkan diri.

Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba. Kita mulai yok” katanya. Dan dengan gerakan sangat cepat ia membuka celana dan jaketnya. Sewaktu dia membuka jaket parasutnya, kulihat terdapat tulisan di punggung kaos t shirtnya. Dengan terkejut aku membaca :” PERGURUAN BELA DIRI …..” (aku sensor, nanti ada yang tersinggung ).

Namun yang sangat mengerikan adalah tulisan di bawahnya ”PELATIH”. Aduh mak, ternyata kita mau memperkosa pelatih silat ! dasar si Rudi brengsek, mau perkosa cewek saja tidak milih-milih dahulu. Habislah sudah kita, pikirku.

Dasar kita orang malang, orang celaka, orang………. “Bangun !” bentak si cewek, membuyarkan lamunanku. Ketika aku menengoknya, astaga, dia sudah telanjang bulat di depan kami. Tubuhnya benar-benar bagus, kulitnya mulus, buah dadanya yang besar tegak menantang meskipun tanpa disangga bra.
Perutnya benar-benar ramping tanpa lemak, dan pahanya yang putih mulus tegak panjang seperti kaki belalang. Dan pandanganku segera mengarah ke selangkangannya : tampak segunduk kecil bulu kemaluan berwarna kehitaman, hanya sedikit saja di atas bibir kemaluannya. Bagian lain kemaluannya bersih tanpa bulu, berwarna kemerahan dan sangat mulus. Aduh, dalam keadaan biasa aku pasti sudah konak setengah mati.

Tetapi dalam kondisi sekarang, rasanya sulit untuk sekedar membangkitkan nafsu. Apalagi di tangan si kuntilanak itu masih tergenggam pisauku yang terhunus. Rudi seperti dicocok hidungnya menuruti perintah si dewi kuntilanak itu. Dengan susah payah ia mengangkat badannya sehingga kini ia dalam posisi duduk menggelosor di lantai.

Wajahnya penuh ketakutan menunggu apa yang akan terjadi. Cewek itu tertawa terkikik kikik melihat ekspressi Rudi, yang bercampur antara memelas dan takut. Tangannya mengelus-elus rambut Rudi yang ikal :” jangan takut sayaaang…….aku Cuma mau kamu menghisap kenikmatanku kok” katanya, menirukan ancaman kami tadi.

Tiba – tiba ia menarik rambut Rudi ke belakang sehingga wajahnya mendongak :” sekarang, kalau kamu mau menghisap kenikmatanku, nih….hisaplah”. Ia bergerak ke depan, ke kepala Rudi. Tangan yang satu tetap menarik kepala Rudi ke belakang, sedang tangan lainnya meraba ke kemaluannya yang kini hanya beberapa senti saja di depan wajah Rudi.

Jemarinya yang lentik dan mulus dengan lembut membelai-belai bulu kemaluannya yang tidak begitu lebat itu, dan akhirnya jari tengah dan telunjuknya membuka bibir kemaluannya lebar-lebar. Aku dapat melihat bagian dalam kemaluannya yang sangat merangsang, berwarna merah muda dan tampak basah. Ia merendahkan badannya sehingga kini kemaluan itu benar-benar menempel di mulut Rudi.

Kulihat mata temanku membelalak, napasnya megap-megap karena sulit menarik udara bebas. Hidungnya tersumbat oleh kemaluan cewek ganas itu. “ Ayoo, monyong, cepetan keluarkan lidahmu” kata si cewek memerintah.
Napasnya juga kedengaran memburu, tampaknya ia sangat terangsang. Kulihat Rudi menuruti perintahnya, menjulurkan lidahnya panjang-panjang dan mulai menyapukannya ke bibir dan bagian dalam kemaluan si cewek itu. Pemandangan selanjutnya sungguh menakjubkan (sekali lagi, dalam situasi lain aku pasti sudah sangat terangsang ).

Si cewek menggerak-gerakkan pinggulnya ke depan dan ke belakang, sehingga kemaluannya bergesekan lebih keras dengan lidah Rudi. Mulutnya mendesis – desis menahan kenikmatan, ” ooh….hebat kamu.

Terus, jilatiin….masukin lidahmu ke dalam lobangku”. Rudi tampaknya menurut, ia menegangkan lidahnya dan mengarahkan ke lobang kemaluan si cewek. Kini gerakan si kuntilanak berubah, tidak maju mundur lagi tetapi ke atas dan ke bawah. Aku melihat lidah Rudi keluar masuk lobang kemaluannya, yang semakin lama tampak semakin basah, “aaah…. enak, enak,…. lidahmu enak.

Ayo terus”, desah si cewek tidak terkontrol lagi. Tangannya yang memegang kepala Rudi tampak bergetar, dan akhirnya pisau yang digenggamnya jatuh berdenting ke lantai. Kesempatan bagus, pikirku. Aku mulai bergerak ke arah pisau itu, tetapi langsung berhenti karena si cewek memandangku dengan pandangan penuh ancaman.

Tanpa menghentikan goyangannya, ia mendesis padaku :” awas, jangan coba yang aneh-aneh. Gua akan gorok leher lo kalau berani-berani ambil itu pisau “. Mendengar ancaman itu langsung nyaliku ciut dan kuurungkan niatku.

Tampaknya si cewek sudah puas dilayani oleh lidah Rudi. Ia mengangkat pinggulnya dan berhenti sejenak dengan napas tersengal-sengal, ”Huaaduuh… enak sekali. Tetapi aku belum keluar nih. Kamu harus bikin aku keluar yah.” Dan dengan berakhirnya perkataan itu, sekali lagi ia merendahkan tubuhnya dan menempelkan kemaluannya ke mulut Rudi.
Kali ini benar-benar menempel, tidak ada ruang sedikitpun untuk bernapas bagi si Rudi. Si cewek menggerakkan pinggulnya ke depan dan kebelakang dengan cepat dan liar, ”sekarang hisap. Ayo hisap!” perintahnya pada si Rudi.

Temanku yang malang itu tidak bisa mengelak lagi, disedotnya kemaluan si cewek begitu rupa sehingga kulihat pipinya cekung ke dalam :” aaghh….hisap terus. Monyet, mulutmu enak sekali “ si cewek benar-benar kehilangan kontrol, seluruh tubuhnya yang telanjang bergoyang-goyang dan bergetar, merasakan rangsangan yang sangat hebat di kemaluannya.

Akhirnya, tak lama kemudian, ia mengejan dan mengeluarkan teriakan yang (benar-benar) keras. Mulutnya mendongak ke atas :” aaaww….. aku keluaar….. auuu…” aduh, kalau saja gubuk si Meeng ini tidak begitu jauh dari rumah penduduk, pasti suara teriakan itu akan terdengar. Tapi namanya juga gubuk di tengah lapangan bola, sudah hampir tengah malam lagi, pasti tidak ada yang mendengar.

Aku melihat si cewek sekarang berdiri tegak ( aduh, siapa sih namanya? Penasaran betul aku untuk mengetahuinya ). Wajahnya merah, napasnya terengah-engah. Buah dadanya yang tegak menantang tampak semakin tegak, kedua putingnya yang berwarna coklat kemerahan tampak tegang karena terangsang.

Kedua tangannya mengelus-elus kemaluannya, yang kini tampak sangat basah, belepotan dengan air maninya yang menetes-netes ke bawah. Aduh mak, belum pernah aku melihat wanita orgasme dengan cairan sebanyak itu ! aku melihat wajah si Rudi, yang tetap mendongak ke atas. Astaga, wajahnya (bukan Cuma mulutnya lho) benar-benar belepotan dengan cairan orgasme si cewek
Ekspresi wajahnya sungguh tidak bisa ditebak, antara bingung, takut, tetapi (tampaknya) juga sangat terangsang. Matanya nanar dan terus memandang kemaluan si cewek yang sekarang agak jauh dari wajahnya. Ia tampaknya juga mendambakan sesuatu yang lebih dari barang indah yang baru saja dikulumnya tadi itu.

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.