Blog Archive

Popular Posts

Sunday, April 21, 2019

Semuanya Hanya Untuk Dirimu

Tangan Elvan menggerakkan-gerakkan pensilnya dengan lincah. Terbentuk sketsa gambar mobil di atas kertas putih yang dia gunakan untuk mendesain. Elvan sudah seminggu ini menggambar model-model mobil yang dipesankan oleh perusahaan otomotif dari mancanegara. Tentunya pekerjaannya ini adalah pekerjaan impiannya sejak masih duduk di bangku SMA. Dan sekarang, setelah ia berkeluarga, ia sangat bersyukur bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari keahliannya menggambar.

SahabatQQ Agen Domino 99 DominoQQ dan Poker Online Aman dan Terpercata


Sayangnya enam bulan yang lalu istrinya meninggal akibat kecelakaan. Mobilnya menghantam sebuah truk tangki bahan bakar hingga meledak. Istrinya tak selamat dalam kecelakaan itu. Lima tahun membina rumah tangga, ia tak dikaruniai keturunan. Namun, mereka sangat bahagia. Selama lima tahun itu pula mereka menghabiskan waktu dalam penuh kemesraan. Kalau saja waktu itu dia tak mengizinkan istrinya untuk pergi ke salon, mungkin kecelakaan itu tak akan pernah terjadi
Elvan menekuk-nekuk lehernya yang pegal. Sudah lebih dari tiga jam ia duduk sambil menggambar, sampai-sampai tak terasa cangkir kopinya telah habis. Cairan kafein itu menjadi obat dikala ia dalam desakan deadline seperti ini. Konsentrasinya bisa naik berkali-kali lipat dengan cairan itu.Perutnya terasa keroncongan.

“Sayang, makan siangnya apa?” celetuknya. Dia lalu menghela napas. Dia lupa. Istrinya sudah tiada. Padahal biasanya ia melakukan itu saat hendak istirahat untuk makan siang. Elvan selama ini bekerja di rumah, jadi ia bisa seharian di rumah bersama istrinya. Kini satu-satunya teman hidupnya telah pergi.

Elvan mendengkus. Teman-teman mainnya sudah menasihatinya untuk mencari pengganti, tetapi Elvan masih belum bisa move-on. Dia masih sayang kepada Hani, sang istri. Dia beranjak dari tempat duduknya untuk menuju ke kulkas. Dilihatnya isi kulkasnya. Kosong. Ia lupa belanja. Lagi-lagi Elvan mendengkus.

Dia beringsut menuju keluar apartemen. Dia memakai sandal jepit yang ada di dekat keset. Setelah itu ia keluar dari apartemen dengan niat untuk belanja kebutuhan, sekaligus membeli makan siang. Apartemennya bukan apartemen mewah, tetapi cukup untuk tinggal sepasang suami istri dan anak kalau ada. Apartemen itu disewanya dengan menggunakan uang dari pekerjaannya, dan itu cukup bahkan ia bisa berlibur dengan gajinya.

Saat melintasi lorong, dari kejauhan ia melihat seorang perempuan menunggu pintu lift terbuka. Dia kenal gadis ini. Dia adalah anak tetangganya, namanya Yohana. Gadis ini barusan lulus tahun ini, sekarang entah ingin kuliah atau langsung kerja. Ibunya bernama Nina, seorang perempuan yang ikut usaha MLM. Setiap hari pergi pagi, pulang malam, nyaris tidak pernah ada di rumah. Nina juga adalah sahabat Hani semasa hidup, setidaknya kedua keluarga ini sangat mengenal satu sama lain
Yohana mengenakan celana jins sebetis, atasannya kaos warna putih namun lingkar lehernya kedodoran sehingga memperlihatkan bagian punggungnya yang mulus tanpa cela. Kaosnya ditutup dengan cardigan warna orange, meskipun begitu ia terlihat memakainya asal-asalan saja. Rambutnya sebahu dan kini sedang dikuncir. Ia cukup trendi untuk anak-anak seusianya.
“Mau kemana?” sapa Elvan.

“Eh, Om Elvan. Mau ke mini market, Om,” jawab Yohana. “Om sendiri?”

“Sama, mau belanja kebutuhan,” jawab Elvan.

“Bareng, yuk?”

Elvan mengangguk. Keduanya lalu masuk ke dalam lift. Yohana langsung menekan lantai basement. Lift pun menutup secara perlahan.

“Ngomong-ngomong, kamu sudah putuskan mau kuliah kemana?” tanya Elvan memulai pembicaraan.

Yohana menggeleng. “Nggak tahu, Om. Antara kuliah dan membantu mama, pilihannya berat.”

Elvan bisa mengerti posisi Yohana. Dia anak semata wayang, maka mau tak mau ia harus memilh antara dua pilihan, meneruskan kuliah dengan biaya selangit atau membantu mamanya. Pilihan yang sulit ini harus ia ambil kalau ingin tetap bisa bertahan hidup di ibu kota ini.

“Kalau misalnya kamu bisa bekerja sambil kuliah, itu lebih bagus. Tapi, bahaya untuk anak seperti kamu,” ucap Elvan.

“Bahaya kenapa, Om?”

“Biasanya, orang-orang yang menyambi kuliah dan kerja akan lebih mementingkan kerjanya. Mereka sudah kenal uang. Uang itu enak, akhirnya kuliah terbengkalai. Apalagi kamu belum punya pengalaman kerja sama sekali.”
Yohana menghela napas. Benar sekali apa yang dikatakan Elvan. Dia belum punya pengalaman kerja. Elvan melirik ke arah payudara Yohana yang membusung. Anak ini, telah tumbuh besar. Padahal dulu tidak seperti ini, tapi sekarang Yohana sudah dewasa. Dari besar buah dadanya, hingga pantatnya yang berisi sudah mengindikasikan anak ini telah masuk ke masa pubertas. Elvan menelan ludah saat tiba-tiba ia berpikiran aneh-aneh kalau-kalau Yohana tak memakai bra. Apalagi dari pundaknya tak ada sama sekali tali bra yang biasanya muncul kalau leher kaosnya longgar
“Kamu tak pakai bra?” tanya Elvan tiba-tiba.

Yohana menoleh ke arah Elvan. Menurutnya Elvan bertanya seperti itu karena peduli. Sebab, mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Bahkan Yohana menganggap Elvan sudah seperti orangtuanya sendiri. Ayahnya sudah meninggal sejak dia masih kecil. Elvan dia anggap sebagai salah satu figur ayah impiannya.

“Sedang kehabisan bra, lagian kayaknya Yohana mau beli yang lebih besar lagi,” jawab Yohana dengan santainya.

“Eh, kamu mau pergi keluar sana tanpa bra? Bahaya loh, ntar kamu kenapa-napa,” ucap Elvan khawatir.

“Tenang, Om. Cuma lingkungan sini saja kok. Tidak kelayapan kemana-mana.”

“Meskipun begitu, kamu tak takut payudaramu terlihat?”

“Makanya aku pakai cardigan ini,” ucapnya sambil mengibas-ibaskan cardigannya. “Tinggal ditutup seperti ini.” Yohana memperagakan cardigannya menutupi payudaranya. Tetap saja Elvan tak terima.

“Jangan deh. Pulang sana dulu, pakai jaket!” kata Elvan menasihatinya.

“Laaah, nanggung, Om!” ujarnya.

Elvan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya sudah, nanti mampir di pos satpam. Siapa tahu Pak Maman punya jaket. Pinjam jaketnya dulu.”

Melihat kepedulian Elvan, Yohana tersenyum manis. “Makasih, Om. Iya deh, nurut aja sama, Om Elvan.”
Elvan penasaran dengan ukuran bra Yohana. “Memangnya, berapa ukuran bra-mu?”

Yohana memperhatikan dadanya. “Terakhir kali sih 32 D. Tapi udah nggak muat. Kayaknya udah nambah jadi 34 D.” Yohana meremas payudaranya sendiri. “Coba deh nanti.”

Elvan menelan ludah. Apa Yohana tak tahu pesonanya sendiri? Gadis berusia 18 tahun ini sudah bukan lagi anak-anak. Payudaranya itu adalah salah satu daya tarik yang luar biasa. Apa dia tidak menyadarinya?

Mereka lalu keluar bersama dari lift. Dari lift Elvan mengajak Yohana untuk mampir di pos satpam, lalu meminjam jaket ke Pak Maman.

“Makasih, Om. Om baik banget. Kalau saja Om ini jadi ayahku,” ucap Yohana dengan tulus.

“Sudah, nggak usah lebay gitu!” ucap Elvan sambil menguyel-uyel kepala Yohana. Yohana merasa nyaman diperlakukan seperti itu. Mereka kemudian berjalan menuju ke mini market.
Di sebuah ruangan yang temaram, tampak seorang perempuan bertubuh seksi tanpa busana sedang berayun. Rambutnya dia biarkan tergerai, matanya menatap sayu sambil kepalanya mendongak ke atas. Kedua tangannya tampak menyandar di kedua paha sang laki-laki. Desahan-desahannya benar-benar sangat bergairah dan panas. Pinggulnya bergoyang liar, siapapun kemaluannya yang diaduk seperti itu pasti sudah tak berdaya lagi.

“Oh, aku tak tahan lagi,” ujar si pria.

Gerakan ulekan si wanita pun makin liar hingga akhirnya sang pria menegang. Tubuhnya bangkit lalu memeluk dengan erat tubuh wanita itu. Payudara si wanita tergencet di tubuhnya, sementara ia mengejat-ngejat berkali-kali. Sang wanita mengatur napasnya. Keduanya sama-sama meraih orgasme.

“Sudah?” tanya si wanita.

“Ehm, sebentar. Gua mau nikmati dulu,” jawab si laki-laki.

Si wanita tersenyum, tetapi ia tetap mendorong sang laki-laki. Laki-laki itu melepaskan pelukannya, tak menolak sang wanita yang memang ingin pergi. Dari belahan kemaluan si wanita lendir putih menetes.

“Euh, banyak banget,” ucap si wanita.

“Habisnya, sudah sebulan ini gua tahan nggak coli demi Mbak Nina,” kata si laki-laki.

“Hahahaha, sampai segitunya,” kata si wanita. “Tapi gimana? Janji tetap janji yah, join MLM.”

“Iya, ikut kok. Tenang aja, gue bakalan ikutin keluarga gua,” kata si lelaki.
“Aku harus pulang, transfer saja duitnya yah!?” kata Nina sambil beringsut pergi ke kamar mandi.

Si lelaki lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Benar-benar ngentot terenak yang pernah dia rasakan selain dengan istrinya. Lelaki ini bernama Haris. Seorang karyawan swasta. Dia diprospek oleh Nina kurang lebih dua bulan lalu untuk ikut MLM, akhirnya ia pun tergoda dengan tawaran Nina. Apalagi Nina akan memberikan “bonus” kalau ia mau mengajak banyak orang masuk ke jaringannya
“Cepet pulang, katanya hari ini hari ulang tahun pernikahanmu,” kata Nina dari kamar mandi.

“Iya, Mbak,” sahut si Lelaki.

“Istrimu hamil berapa bulan?” tanya Nina.

“Sudah tujuh bulan, Mbak.”

“Wah, harus kamu jaga tuh. Jangan tinggalin!”

“Iya mbak. Tentu saja, jadi suami siaga nih sekarang.”

Wajah Nina nongol dari pintu kamar mandi. “Hari ini cukup rahasia kita ya?”

“Iyalah mbak, masa’ harus jujur ama bini gua. Bisa berabe. Tapi kalau nanti dapat member lagi boleh yah?”

Nina tak menjawab. Ia masuk lagi ke kamar mandi dan suara shower pun terdengar. Nina menghela napas. Ia terkadang harus melakukan hal ini, mau tak mau. Persaingan kerja di ibu kota keras, bahkan jual tubuh pun harus ia lakukan demi sesuap nasi untuk dia dan anaknya. Daftar SahabatQQ
SahabatQQ Agen Domino 99 Domino QQ dan Poker Online Aman dan Terpercaya

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.